Bahasa manusia bersifat dinamis dan menginduk pada akal budi individu ataupun sekelompok orang. Belakangan ini, tampaknya di antara kita pernah mendengar diksi-diksi masa kini yang cukup bervariasi, seperti baper, nolep, mager, dan gabut. Bahkan, secara sadar ataupun tidak, kita sering menggunakannya dalam situasi percakapan (dialog)/komunikasi. Kata-kata tersebut dalam dimensi bahasa dapat diistilahkan sebagai slang. Slang adalah suatu istilah untuk variasi bahasa yang di dalamnya memiliki kebaruan dalam hal kosakata, cepat berubah dan digunakan oleh suatu kelompok masyarakat, umumnya cenderung pada lapisan masyarakat golongan muda. Fungsi/penggunaan utama bahasa slang adalah untuk berkomunikasi dengan lebih khusus, tidak terikat aturan tata bahasa, dan lebih santai (informal/tidak resmi). Bahasa slang bisa dituturkan dalam bentuk tertulis ataupun lisan. Munculnya bahasa slang ini biasanya ditandai karena ketidaksengajaan/spontanitas ketika tengah berkomunikasi sehingga muncul kata dengan bentuk dan makna yang baru yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Sebagaimana disebut di awal, ada beberapa contoh istilah-istilah slang, di antaranya baper, nolep, mager, dan gabut. Keempat istilah slang tersebut memiliki makna yang berbeda dan implikasi/kecocokan penggunaan yang berbeda pula.
Baper
“bawa perasaan” merupakan kepanjangan dari baper. Bagi setiap orang atau sekelompok orang baper memiliki makna yang berbeda-beda. Lalu, apa yang sebenarnya membuat seseorang dapat dikatakan baper? Banyak di antara kita mungkin pernah beranggapan terlalu serius untuk suatu masalah, pun mungkin menganggap secara berlebihan terhadap suatu keadaan. Keadaan tersebutlah yang seringkali membuat kita menaruh rasa baper dan itu tentu saja dimaknai menjadi negatif. Akibatnya, dapat menimbulkan suasana hati yang tidak mengenakkan dalam beraktivitas. Bahkan lebih parah, kita bisa terlalu mudah berpikiran negatif dan mudah pula kecewa kepada orang lain. Kita tentu tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Untuk menyikapi baper, ada cara yang terbilang cukup efektif, yaitu pertama mulailah dengan diri sendiri, berpikir realistis (tidak berekspektasi tinggi), dan kita harus “memaksa” diri sendiri untuk selalu terbiasa berpikir positif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Nolep
Nolep merupakan kata singkatan dari bahasa Inggris yaitu No Life atau diartikan dalam bahasa Indonesia tidak hidup. Lalu apa makna tidak hidup dalam penggunaan bahasa gaul? Nolep bisa diartikan sebagai seseorang yang tidak peduli dengan keadaan sekitar. Nah, kalau nolep, lain cerita. Orang-orang yang nolep ini memang pada dasarnya malas bertemu dengan orang, dan tidak peduli dengan hubungan sosial serta masa depan mereka. Mereka hanya menghabiskan waktu dengan melakukan apa-apa yang mereka sukai, tetapi dengan seorang diri/sendirian. Secara nolep ini arti luasnya dapat dikatakan mirip/berdekatan dengan gangguan/patologi sosial sehingga nolep kemudian dapat disebut dengan bernama antisosial. Seseorang yang nolep mereka lebih cenderung suka menyendiri dan kesepian. Mereka cenderung berpikir kalau kehadirannya tidak terlalu penting dan bahkan terabaikan, miris bukan? Bahkan memprihatinkan, sebab mereka menganggap mereka tak penting untuk dibutuhkan/merasa “tak dianggap”. Mereka juga berpikir orang yang berada di sekitar lingkungannya tidak peduli terhadap kehadirannya.
Nolep, sekali lagi memang merupakan salah satu fenomena yang terjadi belakangan ini seiring dengan era perkembangan teknologi informasi yang bisa membuat manusia menjadi terkurung dengan aktivitas di dalam ruangan tanpa ikut berinteraksi dengan masyarakat luar. Nolep jika sudah “menjangkiti” seseorang hingga di level yang parah, maka nolep tersebut menjadi sulit diatasi mengingat salah satunya karena kendali/kontrol lingkungan yang sulit bagi seseorang yang nolep, bisa juga karena ketergantungan emosional terhadap “zona nyaman” yang berlebihan/tidak stabil. Tampaknya, paling tidak bisa disikapi bahwa seseorang di masa kini tetap perlu kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara terukur sehingga lebih wawas diri. Yang penting diingat adalah jangan sampai terseret dan terjebak pada nolep karena dapat membuat seseorang menjadi berkurang produktivitasnya, terisolasi secara sosial, hingga memburuknya mental sosial.
Mager
Kepanjangan dari kata mager adalah “males gerak.” Kata mager ini biasanya digunakan sebagai ekspresi tertulis atau lisan untuk penolakan terhadap suatu ajakan dari seseorang. Di masa kini, misalnya ketika kita menolak seorang teman yang mengajak untuk bermain atau melakukan kegiatan, mungkin saja pernah menjawab dengan kata mager. Bukan tanpa alasan, penolakan terhadap ajakan tersebut dapat dikarenakan sedang, tidak semangat, sekadar lelah, atau bahkan tidak tertarik sama sekali dengan ajakannya sehingga terucaplah kata mager. Umumnya, kata mager ini dimaknai sebagai konotasi yang negatif atau sesuatu yang terkesan negatif. Efek karena terlalu sering mengucapkan kata ini dalam keseharian dapat mendorong/memicu kemunculan rasa mager. Mengucapkannya saja sudah menumbuhkan rasa mager, bayangkan bagaimana jika sampai benar-benar melakukannya? Pasti akan sangat merugikan kita. Di tengah-tengah banyaknya orang lain sedang sibuk-sibuknya mengejar tujuan dan kesuksesan hidup hingga berlelah-lelah, seseorang yang mager-nya sudah “luar biasa”, mereka hanya diam, diam, dan diam, malas, malas, dan malas sehingga nihil hasil.
Lalu, bagaimana sebaiknya untuk mengatasi atau setidaknya menyikapi mager ini? Kita bisa mulai dengan agak “memaksa” diri kita sendiri, yaitu mau tidak mau kita harus memaksa diri sendiri agar terus bergerak, sekalipun itu melakukan hal-hal kecil nan sederhana. Kita juga dapat lebih mengembangkan, mencari, dan mengenali potensi diri kita melalui kegiatan yang sesuai dengan minat, bakat, selera, dan naluri masing-masing agar lebih terasa senang dan menikmati prosesnya. Banyak bergaul dengan komunitas sosial yang bermanfaat dan penuh ambisi pun dapat menjadi alternatif untuk mengatasi rasa mager. Semangat yang ditularkan dari orang lain akan secara moral membuat kita lebih bersemangat pula. Ya, tentu di antara kita tidak ingin menjadi orang pemalas hanya karena terlalu sering mengucapkan kata mager, bukan?
Gabut
Gabut memiliki kepanjangan “gaji buta”. Gaji buta di sini maknanya adalah gaji/upah yang diterima oleh seseorang yang tampak tidak melakukan sebagian ataupun seluruh pekerjaannya. Namun, penggunaan istilah gabut ini kemudian meluas maknanya. Gabut di sisi lain jika dimaknai/diterjemahkan dapat berarti bosan, malas, dan tidak ingin berkegiatan. Bagi sekelompok orang, mungkin kata gabut ini memiliki konotasi yang cenderung negatif. Bagaimana tidak? Rasa gabut yang melanda/muncul menjadikan seseorang cenderung tidak ingin berkegiatan apapun. Kondisi tersebut yang kemudian dapat memberi pengaruh negatif, baik kepada diri sendiri maupun orang di sekitar kita. Adapun cara yang cukup sederhana dalam menyikapi gabut dapat menggunakan waktu luang dengan menyibukkan diri melakukan hal yang bermanfaat dan positif. Mungkin terasa sulit melakukannya di awal, tetapi apabila sudah menemukan kegiatan yang positif maka kita dapat lebih konsisten dan meminimalkan kondisi gabut tersebut sehingga diri kita ikut terbawa ke arah yang positif.
Form Komentar